Minggu, 17 April 2016

Minimnya Jembatan Penyeberangan Orang di Kota Depok

Minimnya jembatan penyeberangan terlihat di Jalan Margonda Raya, Kamis, 21 April 2016. Jalan sepanjang 4.895 kilometer tersebut hanya memiliki empat JPO. Minimnya JPO membuat warga memilih melintas jalan langsung. Padahal, arus kendaraan terbilang ramai dan membahayakan pelintas jalan. Kondisi tersebut tampak di kawasan Kober yang berdekatan dengan akses jalan menuju Universitas Indonesia. Para mahasiswa memiih menyeberang jalan kendati berbahaya. Begitu pula di sekitar Kampus D Universitas Gunadarma. Pengendara mesti eksra hati - hati serta memperlambat laju kendaraanya karena mahasiswa dan warga yang melintas.
Keadaan mengenaskan tersebut menuai kritik warga. ‎Lalu lintas di Jalan Margonda sangat ramai. Seharusnya, pemerintah memperhatikan hak pejalan kaki akan tersedianya kecukupan jembatan penyeberangan orang. Ketidakamanan harus dirasakan warga karena keterbatasan JPO. "Jalan Margonda kan dua arah, keselamatan dan keamanan penyeberangan jalan harus ditingkatkan. Karena kendaraan kita bisa lihat sendiri kencangnya laju kendaraan bermotor (di sana)," tutur Hardi.
Dalih Pemerintah Kota Depok terkait pembebasan lahan yang menjadi kendala penyedian JPO turut dikritik Hardi. "Lagi pula lahan yang dibutuhkan untuk penyeberangan tidak terlalu luas karena bangunannya melintang di atas jalan raya," ucapnya.
Sementara itu, Wali Kota Depok Idris Abdul Shomad menuturkan, upaya penambahan JPO sudah dilakukan. "Kita kemarin sudah disumbang Gubernur (Jawa Barat) 11 jembatan, dari UI sampai sini (Kantor Pemkot Depok). Tetapi permasalahannya adalah kita diizinkan di satu kaki, pas seberangnya enggak diizinin," ujar Idris. Persoalan pembebasan lahan menjadi kendala penyediaan JPO. "Kita mau beli loh, bukannya gratis, minimal 50 meter untuk kaki saja," kata Idris.
Dari 11 JPO yang mendapat kucuran anggaran dari Pemprov Jabar pada 2014, hanya dua JPO yang terealisasi pembangunannya
Fasilitas bagi pejalan kaki seharusnya menjadi perhatian. Konstitusi yang mengatur proyek infrastruktur ini pun tak sedikit.
Hak-hak bagi pejalan kaki diatur secara seksama oleh Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Bukan tanpa alasan, kenyaman pejalan kaki menjadi prioritas. Pejalan kaki merupakan kelompok terbesar pengguna jalan yang keberadaannya harus dilindungi oleh pemerintah.
Terlebih bagi penyandang disabilitas. Mereka mendapat pengakuan sebagai pihak yang harus bisa menikmati ketersediaan Infrastruktur. Kelompok ini harus diberikan pelayanan spesial.
Beberapa peraturan perundang-undangan hadir untuk menjamin hal tersebut.

Peraturan Umum

1. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


Dalam pasal 25, dengan tegas peraturan ini menyebutkan bahwa fasilitas jalan harus dilengkapi dengan fasilitas penyandang cacat.

2. Undang Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas

UU ini adalah payung legal yang menaungi penyandang disabilitas dalam berbagai lini kehidupan. Lebih rinci mengenai aturan ini, kita bisa melihat bagian kesebelas menjelaskan tentang Infrastruktur. Pada poin tersebut, pembangunan harus disesuaikan agar ramah kepada penyandang disabilitas. Hal ini tercantum sebagai berikut:

(1)    Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin infrastruktur yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas. (2) Infrastruktur yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. bangunan gedung;
b. jalan;
c. permukiman; dan
d. pertamanan dan permakaman

3. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 5 tahun 2014 Tentang Transportasi

Dalam Perda ini, terdapat poin yang menunjukkan kesadaran tinggi dalam memberikan keistimewaan terhadap penyandang disabilitas.

Di DKI Jakarta, penyandang disabilitas seharusnya mendapat tempat khusus di beberapa jenis infrastruktur transportasi seperti fasilitas jalan, pejalan kaki, terminal, lalu lintas jalan, stasiun. Perda ini menekankan pentingnya aksesibilitas penyandang disabilitas.

Jembatan penyeberangan diatur secara khusus dalam Paragraf 5 tentang pejalan kaki di ayat 4 yang berbunyi sebagai berikut:

Fasilitas Pejalan Kaki sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menjamin keselamatan pengguna dan dapat berupa : a. trotoar yang terhubung langsung dengan lajur sepeda, Jembatan Penyeberangan Pejalan Kaki, Terowongan Penyeberangan Pejalan Kaki, Halte dan/atau fasilitas khusus bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia.

Peraturan Teknis

Pengaturan secara teknis diatur cukup terperinci oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Lewat Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2014/2011 Tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, diatur tentang spesifikasi detail yang harus terpenuhi.
Berikut aturan teknis yang mengatur Jembatan Penyeberangan yang didefinisikan sebagai jalur pejalan kaki di atas permukaan tanah:

Gambar Pedoman Pembangunan Jembatan Penyeberangan
Pedoman pembangunan jembatan penyeberangan orang (Foto: Dok/Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat)
Gambar Prinsip Pembangunan Fasilitas Pejalan Kaki
Prinsip pembangunan fasilitas pejalan kaki (Foto: Dok Kementerian PUPR)

Dalam dokumen tersebut, beberapa hal yang berkaitan dengan Jalan Pejalan Kaki juga diatur secara terperinci. Pedoman ini mencantumkan cukup detail tentang maksimum panjang 400 meter untuk kemudian dihubungkan dengan fasilitas transportasi lainnya.

Penggunaan lift juga diatur untuk memudahkan pengguna jalan terutama perencanaan pembangunan infrastruktur tidak sebidang. Pedoman ini menekankan kepada kenyamanan pejalan kaki baik terowongan maupun jembatan penyeberangan. Untuk menghindari ketidaknyamanan pengguna jalan akibat perbedaan bidang, pedoman ini memberi saran agar dibangun lift.



Pengawasan dan Sanksi

Dengan dicantumkannya hak disabilitas dalam UU dan Perda, penyedia pembangunan infrastruktur diwajibkan untuk mematuhi aturan yang tercantum. Payung hukum ini akan memberlakukan sanksi baik dari sisi pemerintah dan penyedia jasa.

Untuk melakukan pengawasan, maka dibentuklah Dewan Transportasi Kota. Dewan ini terdiri dari beberapa pihak terkait mulai dari perguruan tinggi, kepolisian, dinas, pengusaha angkutan, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat pengguna angkutan.

Sanksi yang secara umum akan dilayangkan kepada penyedia layanan publik adalah teguran tertulis, denda administratif, pembekuan izin, pencabutan izin; dan/atau, sanksi administratif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.